Saya pernah mengalami beberapa kejadian yang mengingatkan saya pada kalimat yang pernah diucapkan oleh KH. Hasyim Muzadi, mantan Ketua PBNU dan penggagas berdirinya Pondok Pesantren Al Hikam Malang, yang dulu semasa kuliah saya sangat ingin mondok disana. Kalimat tersebut kira-kira seperti ini,
“Kecerdasan dan kepandaian itu belum
segalanya. Kecerdasan dan kepandaian masih bergantung kepada kejiwaan. Ketika
kejiwaan seseorang goncang maka kecerdasan dan kepandaian pun ikut goncang.
Sehari-sehari seorang doctor, professor ataupun jendral, ketika pulang kerumah, lalu dimarahi istrinya,
bisa goblog mendadak. Artinya, intelektualisme bisa goncang karena instabilitas
rohani”
Kalimat tersebut melekat di alam bawah
sadar saya bersamaan dengan bersahajanya ekspresi beliau ketika menyampaikannya
di acara Indonesia Lawyers Club milik Bung Karni Ilyas. Saat itu beliau menjadi
narasumber untuk menerangkan dalam prespektif agama terkait fenomena Dimas Kanjeng,
yaitu kasus penipuan berkedok penggandaan uang secara goib di Kabupaten
Probolinggo. Viral dan menjadi berita nasional karena ternyata
korbanya banyak, dari berbagai daerah di Indonesia dan tidak sedikit
tokoh nasional yang ikut terlibat. Beliau menyimpulkan bahwa hal itu
bisa terjadi karena masyarakat sedang mengalami sakit (jiwa) sehingga terjadi
instabilitas rohani dalam dirinya yang mengakibatkan nalar dan logika terhadap
uang tidak terkendali.
“Yang masyarakat miskin, dia pingin uang. Yang
masyarakat menengah mulai kesulitan ekonomi. Yang masyarakat atas, sudah sangat serakah
sehingga berapun banyak uang itu dia tidak akan pernah cukup. Maka dalam
kondisi demikian, irasionalitas khususnya dalam hal ekonomi akan tumbuh menjamur
di masyarakat, salah satu contohnya adalah dengan jalan penggandaan uang”.
Begitu kira-kira beliau melanjutkan. Hal itu tercermin dengan keterlibatan beberapa tokoh nasional. Salah
satunya yang
saat itu juga menjadi narasumber, mendebat KH. Hasyim Muzadi.
Memang kalau
dipikir-pikir, kurang apa coba ? Pendidikan sudah
tinggi, jabatan ya sudah tingkat nasional. Sangat mudah disimpulkan bahwa
secara ekonomi uangnya juga banyak, hidupnya mewah turah-turah jika dibandingkan dengan kaum
mendang-mending seperti saya dan anda yang sedang membaca tulisan ini. Lah ngunu sek melu pesugihan. Aajur Jum!
Kembali kepada kalimat KH. Hasyim Muzadi di
awal. Pengalaman saya terkait fenomena instabilitas rohani yang berakibat pada
terguncangnya intelektualitas, saya dapatkan ketika suatu ketika ibu saya sedang
diberi cobaan sakit pada saraf tulang belakang, "kecetit" bahasa kerennya. Saat itu, ibu mengalami saraf
terjepit yang secara bertahap makin lama makin parah. Awal hanya terasa sakit
di bagian pinggang, lalu kesulitan untuk berjalan tegak sampai hanya bisa
berbaring di tempat tidur, kesakitan sepanjang waktu. Saya dan bapak bergantian
merawat. Hal itu berlangsung berbulan-bulan dan tentu semua lelah. Penanganan
kami saat itu kurang tepat karena kami terlalu lama untuk memeriksakan beliau.
Hal ini terutama dikarenakan kebebalan ibu saya tidak mau periksa. Dia
khawatir berujung pada tindakan operasi. Ibu saya takut.
Di saat-saat seperti itu, tentu ibu, bapak dan saya berdoa
kepada Allah untuk meminta kesembuhan. Terutama ibu saya, doa dan tangis tak kurang-kurang. Pada suatu momen, muncul kalimat yang diucapkan ibu
yang itu saya pahami sebagai instabilitas rohani dan goncangnya intelektualitas.
“Le loro lee, Allah iku onok opo gak seh le
kok aku gak waras-waras”. Ucap ibu saya dengan merintih sembari saya langsung
luruskan perkataan itu.
“Huus opo seh. Istighfar, gak oleh ngunu”.
Mari saya jabarkan isi pikiran saya. Ibu saya tentu menjalankan perintah agama dalam kehidupan sehari-hari. Menjalankan ibadah wajib, selalu berusaha berbuat baik kepada orang lain, memberikan nasihat dan tuntunan yang baik kepada saya dalam hal akhlak. Intinya yang ingin saya gambarkan, ibu saya bukanlah orang yang fasik. Beliau manusia yang baik walaupun pasti bukan seorang nabi. Saat kalimat itu muncul, saya seperti tersentak. Bukan tentang ibu saya. Tapi lebih karena fenomenanya. Betapa kondisi kesakitan seseorang pada satu titik dapat membuat orang lupa diri. Tentu sakit yang berbulan-bulan dan tak kunjung sembuh berpengaruh kepada suasana kejiwaan seseorang. Bagi saya kesadaran terhadap Tuhan adalah puncak dari intelektualitas. Sepandai atau sejenius apapun seseorang tanpa kesadaran akan Tuhan adalah tidak logis. Namun saat itu saya baru merasakan sendiri bahwa keimanan yang merupakan hal paling prinsip pun, bisa ikut goyah dengan goncangnya kejiwaan. Saya lalu merefleksikan pada diri sendiri. Bagaimana jika saya pada kondisi seperti itu sedangkan dalam hal ketaatan beribadah saja, saya sering lupa-lupa. Blaen
Namun hal terpenting, ibu akhirnya mau operasi dan sembuh. Sakit beliau berbulan-bulan tersebut sudah diangkat oleh Allah. Alhamdulillah, kami sangat bersyukur.
Komentar
Posting Komentar