Bulan kemarin tepatnya hari Jumat, 23
September 2022 , dilaksankan pagelaran teater adaptasi dari naskah milik Emha
Ainun Najib (Mbah Nun) yang disutradarai oleh Jujuk Prabowo. Turut andil juga
dalam pagelaran tersebut Teater Perdikan, Kyaikanjeng dan Komunitas Lima
Gunung. Pagelaran tersebut dilaksanakan di area Tugu Pahlawan Surabaya, bersamaan
dengan peringatan 16 tahun terbentuknya Marja Maiyah Surabaya, Bangbang Wetan.
Jauh hari setelah mengetahui informasi tersebut, saya sudah meniatkan diri
untuk datang menonton. Ini merupakan kesempatan yang dulu pernah saya lewatkan,
kali ini tidak akan.
FUTSAL
DISEK
Saya berencana berangkat dari kos jam dua
siang menggunakan sepeda motor. Rencananya, saya langsung berangkat dengan
kecepatan santai-santai saja, tanpa kesusu-kesusu, tanpa perlu tegang-tegang
memainkan gas dan rem. Dari kos di Pasuruan Kota ke Surabaya tanpa mapir-mampir.
Namun mendekati jam dua siang, teman kos “mengompori” saya.
“Futsal sek yok, sampek jam telu tok. Kan
acarane sek Isyak. Nutut-nutut!”. Kata teman saya yang memang dia arek Suroboyo.
Memang setiap hari Jumat kami ada jadwal
rutin futsal. Saya merasa berat hati manakala kesempatan tersebut saya lewatkan.
Bagi saya yang sangat menggemari olahraga futsal, diajak futsal adalah sebuah
rejeki. Karena memang sesulit itu mengumpulkan teman-teman untuk sekedar
bermain futsal bersama. Mereka sudah punya kesibukan sendiri. Masak iya main
futsal sendirian.
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya saya
pustuskan untuk ikut futsal dulu.
“Jasik, kebujuk!”. Dalam hati saya.
Kami berangkat. Menggunakan sepeda
masing-masing menuju lapangan. Saat itu sparing. Makin bersemangatlah
saya. Adrenalin memuncak. Saat itu, yang datang cukup banyak sehingga sepertinya
saya tak akan punya banyak kesempatan bermain. Benar saja, hanya sekali turun
ke lapangan lalu saya selesai. Okelah, memang niat awal hanya bermain sebentar.
Setelah itu saya mandi, solat dhuhur, lalu melanjutkan perjalanan ke Surabaya.
PERJALANAN
YANG TIDAK SANTUY
Perjalanan berlanjut. Jalan sepanjang Bangil-Surabaya
cukup ramai. Di akhir pekan, banyak pekerja perantau memenuhi jalan raya untuk
pulang kerumah. Hal yang sebenarnya sudah saya prediksi dan persiapkan
strateginya agar dapat melakukan perjalanan dengan santai, dan sampai di lokasi
tepat waktu. Namun ternyata rencana itu gagal. Strategi berubah. Memang dalam
banyak hal yang direncanakan, improvisasi selalu lebih banyak, termasuk
perjalan saya yang akhirnya tidak santuy ini. Tidak telat juga sih sampai di
Tugu Pahlawan, tapi dengan ngebut dan ngawur sebagai konsekuensinya. Tegang.
Tangan-tangan saya ajak bekerja keras memainkan gas-rem gas-rem sepanjang
perjalanan. Sesekali saya hampir celaka, atau malah pengendara lain saya buat
dalam bahaya. Potong kanan potong kiri bagai diri ini punya indra keenam
sehingga bisa memprediksi sepersekian detik selanjutnya space lajur jalan
sebelah mana yang kosong yang bisa saya srobot. Astaugfirullah Haladzim. Saya
sampai.
“Blai selamet!”
Waliraja-Rajawali
Dulu saya sangat ingin menonton pagelaran
teater adaptasi dari naskah Mbah Nun yang berjudul Sengkuni Harga Mati. Saat
itu dilaksanakan di Yogyakarta. Hanya dengan mendengar review singkatnya dari
youtube saja, saya sudah tertarik. Prespektif saya terhadap Sengkuni yang
selama ini digambarkan sebagai tukang fitnah, tukang hasut, tukang pengadu
domba, bergeser menjadi sebuah kemakluman, hanya dari review tersebut. Namun,
detail ceritanya belum pernah saya dapatkan karena sampai sekarang keinginan
itu belum bertemu dengan kesempatannya. Malah kesempatan yang ada saat ini
adalah pagelaran teater dengan judul Waliraja-Rajawali.
Sejujurnya saya tidak bisa memetakan benang
merah cerita dari pertunjukan teater Waliraja-Rajawali itu. Lupa. Hanya
poin-poin tak lengkap saja yang saya bisa gali diingatan saat tulisan ini saya
buat, diantaranya: (1). Bahwa terdapat tahun-tahun Indonesia atau Nusantara
yang tak tercatat kejadiannya dalam sejarah dimana pada tahun tersebut semua
kekayaan Nusantara dikubur-lenyapkan oleh bangsa Nusantara sendiri dengan
maksud untuk menjaganya dari jarahan bangsa asing; (2). Bahwa generasi bangsa
Indonesia saat ini adalah generasi yang harus unggul dan memperbaiki apa-apa saja
hal yang salah dari masa silam; (3) Bahwa dalam menghadapi pergantian
kepemimpinan di tahun 2024 kita sudah tidak boleh lagi salah identifikasi dan
salah pilih dengan memilih pemimpin yang Waliraja.
Tentu yang saya ceritakan tersebut tidak
menggambarkan apa-apa atau hanya “remahan rempeyek” dari keseluruhan isi
cerita. Ketidakpahaman saya terhadap isi cerita sebenarnya memiliki alasan
yaitu, gangguan dari seorang anak kecil yang sepanjang pagelaran sangat
mengganggu kenyamanan dan konsentrasi saya. Anak itu, bersama bapak-ibunya
duduk tepat di depan saya. Kami semua para penonton duduk bersila. Anak ini
sepanjang pagelaran berdiri menghalangi pandangan. Saya ber-khusnuzon diawal,
siapa tau anak tersebut beberapa menit setelahnya akan lelah lalu tidur di
pangkuan bapaknya. Atau merengek ingin buang air kecil sehingga mau tidak mau
orang tuanya terpaksa mengajak pulang. Tapi keduanya tidak terjadi. Anak
tersebut berdiri, njoget, bernyanyi, bergelantungan ke orang tuanya sampai
acara selesai. Ditengah-tengah ke “khusukan” penonton menikmati teater, anak
ini mengusiknya. Saya gelengkan kepala ke kanan, dia mengikuti. Saya ganti
geleng ke kiri, dia juga mengikuti.
“Astaga, bajingan. Wong tuwone gak peka
cuuk!”. Dalam hati saya.
Sesekali dia menoleh kebelakang, saya
melotot ke arahnya. Saya pasang wajah termenakutkan yang saya punya. Entah
ketakutan atau malah lucu melihat saya. Sempat sebentar dia duduk. Ehh, tak
berapa lama dia berdiri lagi. Akhirya saya mengalah, saya besarkan hati saya
sendiri untuk iklas. Di acara yang bernuansa agamis ini, emosi saya tidak boleh
lebih tinggi. Mungkin anak itu sedang melakukan aktifitas yang dia interest
disana sehingga muncul energi dan stamina yang luar biasa untuk “mengganggu
saya”.
Namun diatas itu semua, saya sangat menikmati dan mensyukuri pelaksanaan teater tersebut. Saya berusaha tenggelam bersama kekhusukan jamaah maiyah yang berasal dari berbagai daerah. Dua orang di sebelah saya berasal dari Bangkalan dan dari Pasuruan. Tentu saja saya tidak kenal sebelumnya namun, kami saling berkomunikasi saat itu. Muncul pertanyaan-pertanyaan default khas orang berkenalan. Kami akhirnya juga berteman di Instagram. Kami berharap bisa sampai ke Yogyakarta untuk pagelaran-pagelaran teater selanjutnya. Aamiin. Tentu juga bersamaan dengan doa agar Mbah Nun selalu diberikan kesehatan oleh Gusti Allah kedepannya. Aamiin.
Komentar
Posting Komentar