Saya sering mendengar dan membaca terutama dari seri-seri "Kebon" di caknun.com bahwa peradaban bangsa jawa memiliki kesadaran atau budaya penamaan atau nomenklatur yang sangat dahsyat terkait Trah Leluhur. Terdapat paling tidak sebanyak delapan belas penamaan bagi generasi, orang tua atau kakek-kakek dalam budaya Jawa.
Penamaan tersebut dimulai dari Bapak/Ibu yang merupakan orang tua kita. Lalu ada Simbah (Kakek/Nenek) yang merupakan orang tua dari orang tua kita. Lalu ada orang tua dari Simbah yang kita panggil Buyut. Lalu berurutan terus ke atas ada Canggah, Wareng, Udheg-Udheg, Gantung Siwor, Gropak Santhe, Debog Bosok, Galih Asem, Gropak Waton, Gandheng, Giyeng, Cumpleng, Ampleng, Menyaman, Menya-menya, sampai yang terakhir Trah Tumerah.
Bayangkan betapa hebatnya para leluhur-leluhur atau orang-orang jaman dahulu hingga sampai pada penemuan dan penyusunan nomenklatur yang begitu detail, jelas dan lengkap hanya pada satu jenis benda saja. Bagaimana tidak, urusan padi saja bisa bermacam-macam penamaannya mulai dari pari, gabah, kapak, beras, katul, menir, las, leri, sego, upo, karak, lontong, bubur, tajin, intib, kenul, puli. Tentu saya bangga dengan kenyataan bahwa tidak ada peradaban bangsa atau negara lain yang memiliki sistem nomenklatur generasi semaju dan sedetail bangsa Jawa. Patut disyukuri bahwa mbah-mbah atau leluhur-leluhur kita telah mewariskan peradaban begitu tinggi, walaupun disaat yang sama saya (dan mungkin sebagian orang) merasa berdosa bahwa jangankan mengidentifikasi siapa-siapa saja kakek-kakek saya yang saya pasti sangat kesulitan, menghafal delapan belas nomenklatur generasi tersebut pun saya belum berhasil.
Suatu hari saya diajak Pak Sigit dan Istrinya untuk buka puasa di salah satu warung rawon di Pasuruan. Obrolan mereka yang sama-sama warga asli Pasuruan terasa cukup nyambung terutama obrolan tentang silsilah keluarga. Yang membuat saya takjub adalah kelancaran mereka mengingat dan menyebut nama dari kakek-kakek mereka dengan nomenklatur generasi dalam budaya jawa.
"Mbah Udheg-udheg kulo mbah Aamiin niku riyin omae teng Kebonsari saking Kudus"
"Mbah Wareng kulo riyin Mbah Jum Carik teng mriki"
"Canggah kulo berarti tasih sedulur kalih Canggah penjenengan"
Mental saya terusik mendengar mereka ngobrol. La bagaiman tidak, Mbah Buyut putri saya saja yang saat ini masih hidup, saya tidak tau nama aslinya. Saya panggil beliau Mbah Tirto walaupun Tirto adalah nama suaminya. Ndahneyo mbah-mbah sing liyo.
Komentar
Posting Komentar